Pilkada Serentak dalam Konflik Politik Indonesia

Pemilu adalah salah satu bentuk penerapan demokrasi di Indonesia. Rakyat dipaksa untuk mempimpin negaranya sendiri dengan ikut andil suara dalam pemilihan pemimpin dan penetapan beberapa peraturan. Tetapi hal yang seharusnya mendapat anggapan positif ini justru tidak dimanfaatkan dengan baik oleh beberapa rakyat yang apatis. Pemilu diadakan untuk memilih berbagai komponen eksekutif pemerintah, salah satunya adalah pemimpin daerah yang disebut dengan pilkada (pemilihan kepala daerah). Pilkada sejatinya diadakan untuk menentukan pemimpin daerah sekaligus merotasi kepemimpinan mereka. Ini menjadi waktu yang tepat pula untuk mengevaluasi ataupun memberikan kritik kepada pemimpin sebelumnya. Dalam masa ini rakyat dibebaskan untuk memilih ulang pemimpin yang baru maupun memilih kembali pemimpin sebelumnya atas kesuksesannya memimpin. Hal itu yang kembali tidak dimanfaatkan dengan baik. Mengevaluasi dan memilih dengan benar.

Indonesia memiliki jumlah penduduk yang sangat besar. Suku bangsa yang beragam membentuk keberagaman rakyat yang memiliki sifat dan latar belakang berbeda. Pola pikir dan intelektualitas mereka juga berbeda sesuai dengan keadaan ekonomi masing-masing individu. Perbedaan itulah yang terkadang membentuk beberapa masalah perpecahan. Salah satunya adalah kecurangan-kecurangan pemilu. Entah rakyat atau pelaku pemerintahan seperti elite politik yang menyebabkannya, belum ada yang bisa memberikan kepastian pelakunya.

Berbagai upaya diusahakan, tetapi hasilnya berada di tangan rakyat dan pemerintah itu sendiri. Pada tahun 2015 ini, upaya itu dilakukan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota oleh KPU dengan menyusun PKPU mengenai teknis pelaksanaan dan akhirnya diputuskan untuk melaksanakan pilkada serentak di Indonesia. Pilkada serentak adalah pemilihan kepala daerah secara sekaligus, yaitu Walikota, Bupati, dan Gubernur sesuai dengan AMJ (Akhir Masa Jabatan) masing-masing. Pemerintah merencanakan pelaksanaannya akan diadakan pada tanggal 9 Desember 2015 di 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 36 Kota. Hal ini membutuhkan kerja sama pemerintahan daerah yang sangat baik, agar dapat terlaksana dengan benar-benar efektif. Pelaksanaan ini akan menguji seberapa baik dan profesional pemerintahan dan politik yang ada di Indonesia.

Apakah pilkada serentak yang sengaja diselenggarakan demi keefektifan waktu dan biaya akan benar-benar sesuai dengan tujuannya? Bagaimana proses persiapannya selama beberapa bulan ini?
Pemerintah berharap bahwa pilkada yang dilakukan serentak akan menghemat waktu dan biaya, tetapi nyatanya anggaran yang dibutuhkan jauh lebih besar dari biasanya, yakni Rp 6,7 triliun. Padahal, pilkada sebelumnya hanya menelan anggaran sebesar Rp 5 triliun dan regulasi yang dibuat sudah cukup efektif. Apa penyebabnya? Regulasi efektif tersebut tidak didukung oleh beerapa faktor. Beberapa ahli berpendapat bahwa ada 3 faktor yang menyebabkan pembengkakan biaya ini. Fakotr pertama ialah kesalahan menerjemahkan kata "serentak". Serentak di sini hanya bermakna digelar pada tanggal yang sama. Padahal, serentak juga bermakna pemilu nasional, yaitu memanfaatkan banyak item yang sama, kecuali surat suara. Penyelenggara memanfaatkan hal-hal yang sama untuk menekan biaya, seperti pemilihan (KPPS, PPK, dan panitia lain), tempat pemungutan suara, petugas mutakhiran data pemilih, dan lain-lain. Faktor kedua yaitu penganggaran ganda untuk satu daerah yang sama untuk hal-hal yang semestinya cukup dianggarkan di salah satu wilayah saja. Faktor kedua ini sangat berkaitan dengan faktor pertama. Faktor ketiga adalah aturan teknis di bawah UU yang tidak mendukung aspek penghematan yang sudah diangkat UU. Banyak hal yang tidak perlu dicantumkan atau jumlahnya dapat dikurangi, seperti, percetakan kartu pemilih (beserta kartu tambahannya), yang seharusnya dapat menggunakan surat undangan biasa seperti pemilu nasional. Biaya pemeliharaan kantor, yang selayaknya sudah dianggarkan dalam APBD setiap daerah masing-masing. Lalu, pembentukan kelompok kerja, yang dianggap tidak diperlukan. Serta, biaya-biaya perjalanan dinas, yang jumlahnya harus ditekan. Faktor terakhir adalah adanya anggaran baru yang ditanggung oleh APBD, padahal sebelumnya ditanggung oleh partai politik dan calon.

Dapat dilihat bahwa semua faktor di atas berhubungan dengan penambahan dana yang seharusnya tidak diperlukan di masing-masing daerah. Sudah menjadi hal yang biasa di Indonesia kegiatan politik-politik korupsi kecil pada setiap proyek yang ada. Dalam hal ini daerah berusaha menambahkan anggaran agar uang tersebut dapat digunakan untuk keperluan lain yang tidak menjadi hak mereka. Hal-hal seperti ini yang seharusnya dapat diubah dalam diri rakyat Indonesia. Banyak sekali orang yang mencemooh korupsi, tetapi ia tidak menyadari bahwa hal-hal kecil seperti pemalsuan jumlah anggaran  juga merupakan bentuk korupsi tetapi dalam jumlah yang kecil saja. Bagaimana rakyat dapat bertindak partisipatif apabila pemerintahan itu sendiri tidak dapat melaksanakan sesuai dengan tujuan dan berpusat pada uang?

Permasalahan lain juga sempat muncul, yaitu pembajakan elite politik. Dua partai besar yang saat itu sedang mempermasalahkan kepengurusannya, Golkar dan PPP merasa khawatir akan keberadaannya dalam pilkada serentak. Mereka khawatir tidak dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah. Melalui Komisi II DPR, elite politik  tersebut gagal memaksa KPU untuk mengakomodasi kepentingan kelompok politik tertentu terkait pencalonan kepala daerah. Caranya dengan merekomendasikan agar KPU cukup merujuk pada putusan pengadilan terakhir, jika pada tahap pencalonan dimulai, belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terkait sengketa kepengurusan kedua partai politik. KPU jelas menolaknya karena keputusan pengadilan belum berkekuatan hukum tetap sebagai rujukan dalam memverifikasi kepengurusan partai politik saat pencalonan kepala daerah  dan membahayakan keseluruhan legiti masi pilkada. Para elite politik melalui DPR meradang atas penolakan ini. DPR merencanakan revisi UU 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Bagian yang akan direvisi adalah apabila belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap ketika tahapan pencalonan dimulai, KPU diminta untuk merujuk pada putusan pengadilan yang terakhir saja. Rencana revisi UU yang dilakukan DPR di tengah tahapan yang sudah jelas dianggap sangat keliru dan patut ditentang. Perubahan dan penambahan norma ini hanya mementingkan kelompok tertentu.

Rencana revisi UU oleh DPR jelas hanya untuk kepentingan dua partai politik besar itu. Hal ini melenceng dari tujuan politik hukum yang harus mementingkan kepentingan orang banyak dan berlaku umum. Dari hal-hal itu kita dapat melihat bahwa pemerintahan sudah terlalu banyak di bawah kontrol elite-elite politik yang membuatnya sektoral. Budaya demokrasi yang sejak dulu dibangun bisa saja terhapuskan seiring dengan berjalannya waktu. Pemerintahan, khususnya DPR harus membangun diri kembali sesuai dengan tujuan mereka berdiri, yaitu menjadi wakil rakyat di depan hukum. Akhir-akhir ini, pemerintah menjadi gegabah dan terlalu cepat dalam memutuskan sesuatu perubahan, sehingga yang dihasilkan tidak maksimal dan justru membuang-buang biaya. Ketegasan seluruh pihak sangat diperlukan.

Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa pola pikir rakyat Indonesia harus dibangun kembali. Jangan berorientasi pada uang, dan harus selalu ingat pada sistem demokrasi yang dianut oleh bangsa ini. Segala peubahan tidak akan bermakna apa-apa jika subjek-subjek pelaksananya memiliki pola pikir yang bertentangan dengan apa yang telah dianut sebelumnya. Rakyat akan sangat menghargai hal itu, sehingga kemungkinan besar antusias dan partisipasi mereka akan jauh lebih baik dari sebelumya. Intinya semua bergantung satu sama lain dalam mencapai kesuksesan sistem politik. Semoga pilkada serentak dapat terlaksana dengan baik dan sesuai dengan tujuan pelaksanaannya sehingga kegiatan politik di Indonesia akan menjadi lebih baik lagi.

Sumber:
Kompas.com
Detik.com
Liputan6.com

(06/06/15)
Sampoerna Academy Boarding School
Indonesian Language

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pohon besar bercabang tanpa buah

Sincerely emphatic